Oleh: Brigjen Pol Dr. Bambang Usadi, MM
Indonesia tidak pernah belajar dari pengalaman masa lalu terkait dengan masalah pergantian pemerintahan, belanja pemerintah, dan stabilitas politik. Setiap terjadi pergantian pemerintahan, masalah penurunan penyerapan anggaran selalu terjadi, gelombang suara oposisi tidak pandang etika, demikian juga dengan media, bahkan politisi dan pengamat tidak peduli lagi dengan situasi ekonomi. Kesan yang muncul hanyalah seolah ingin menampilkan diri dengan bersuara lantang, tetapi tidak mempertimbangkan dampak statemennya yang dapat mempengaruhi psikologi pasar.
Pada situasi di mana psikologi pasar dapat kapan saja labil oleh ketidakjelasan simptom, gejolak ekonomi karena dipicu banyak faktor dan belum jelas kapan berakhir, tidak selayaknya pejabat negara, pengamat ataupun media mengacaukan situasi dengan menambah ketegangan pasar.
Setidaknya para pihak harus berhati-hati dan berbicara berdasarkan fakta, krisis ekonomi belum terjadi, akan tetapi memang telah terjadi pelambatan ekonomi sebagai dampak dari melemahnya makro ekonomi yang berimbas pada sektor riil. Beberapa masalah mendasar eksternal dan internal turut memicu terjadinya pelemahan mata uang di sektor makro.
Inflasi adalah salah satu pemicu pelemahan rupiah, bagaimanapun inflasi menurunkan nilai rupiah dan daya beli rupiah sehingga konsekuensinya akan terkoreksi terhadap dollar sebagai mata uang utama perdagangan dunia.
Krisis ekonomi sesungguhnya diindikasikan dengan terjadinya perlambatan ekonomi yang terjadi selama 3 kuartal berturut-turut, dimana sektor finansial mulai secara konsisten menunjukkan ketidakmampuannya mendukung pergerakan sektor riil. Fakta sampai hari ini, pertumbuhan ekonomi masih di atas 4%, tingkat kesehatan perbankan masih menunjukkan indikator positif dimana rasio kecukupan modal bank (Capital Adequacy Ratio/CAR) masih cukup aman yakni berada di level kisaran 20%. Sedangkan risiko kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) masih dalam batas aman berada di level 2,5%.
Hal ini menegaskan bahwa perbankan dan secara umum sektor finansial masih mampu eksis dan beroperasi mendukung sektor riil di tengah ancaman depresiasi rupiah yang bergerak di kisaran Rp 14.000 per dollar AS dan penurunan cukup tajam Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang bergerak di level 4.200-4.300 dibanding awal pemerintahan yang berada di atas level psikologis 5.000.
Pemicu inflasi sekarang ini harus diakui utamanya disebabkan kenaikan bahan bakar minyak, yang dalam perkembangannya tidak hanya dipicu faktor teknis, akan tetapi juga kontribusi faktor psikologis. Hal ini dapat dilihat dari angka inflasi mencapai di atas kalkulasi yang diharapkan setelah kenaikan BBM.
Hal semacam ini dapat dilihat dari kenaikan harga bahan kebutuhan pokok yang jauh melampaui kenaikan harga BBM sebagai kompensasi biaya distribusi. Keadaan seperti ini paling tidak disebabkan beberapa hal, yakni kekeringan di beberapa daerah yang menyebabkan kelangkaan bahan kebutuhan pokok yang tidak diantisipasi, seperti cabe, bawang merah, sayuran dan bahan lainnya, penimbunan bahan kebutuhan pokok oleh mafia sektor riil, seperti daging sapi, daging ayam, dan beras.
Faktor agitasi dari oposan pemerintah yang tidak tahu situasi dan hanya mementingkan kepentingan politik semata juga menambah runyam masalah. Politik Indonesia belum memiliki kultur yang mampu menerima kekalahan kompetisi politik secara bermartabat, untuk hanya mengangkat isu yang benar-benar strategis menyangkut kepentingan negara, bukan malah terus-menerus mengulang kritik tajam terhadap kenaikan BBM sehingga pasar sektor riil bereaksi berlebihan terhadap kenaikan BBM di atas kalkulasi inflasi yang seharusnya.
Inflasi yang mendorong koreksi rupiah terhadap dollar bergayung sambut dengan instabilitas ekonomi dunia, krisis Yunani yang tak kunjung usai, depresiasi nilai Yuan yang melawan mekanisme pasar tentu saja mendapatkan reaksi negatif pasar, benih-benih ancaman instabilitas keamanan di semenanjung Korea sebagai salah satu motor penggerak ekonomi di kawasan Asia. Belum lagi konflik yang tidak kunjung selesai di Timur Tengah turut menurunkan kepercayaan pasar terhadap ekonomi Asia, konflik sektarian di beberapa negara Asia Tenggara ataupun Asia secara umum, tidak dapat diabaikan menyumbang respon negatif pasar konsumen, terutama berpotensi menyangkut minat beli masyarakat dari negara maju terhadap produk negara yang di dalamnya masih terjadi konflik sektarian.
Singkatnya, inflasi adalah salah satu momok koreksi nilai tukar rupiah. Apalagi di AS, dollar sedang mendapatkan angin segar karena trend pertumbuhan positif ekonomi AS, didorong juga dengan masuknya dana asing ke AS dipicu dengan kenaikan suku bunga The Fed, yang menjanjikan return lebih tinggi terhadap obligasi dan pinjaman lainnya dan kecenderungan lebih menyukai memegang valuta asing seperti dollar AS pada saat terjadi ketidakpastian ekonomi.
Pada situasi dimana inflasi secara masif terjadi tidak hanya disebabkan karena menurunnya persediaan, atau dengan kata lain permintaan lebih tinggi dibanding persediaan, akan tetapi juga dipicu oleh permainan pelaku pasar yang secara tidak fair mencoba mengambil keuntungan tidak wajar dengan menimbun bahan kebutuhan pokok, maka Polri harus secara efektif mengambil peran mengamankan jalur distribusi melalui mekanisme penegakan hukum. Pelaku ekonomi dan pihak-pihak lain yang sengaja menimbulkan keresahan pasar dengan menimbun bahan kebutuhan pokok ditindak dan diproses secara hukum dengan memaksimalkan ancaman hukuman, dan menggunakan semua instrumen hukum untuk memaksimalkan efek jera kepada para pelaku.
Diharapkan semua pihak menahan diri membuat statemen yang memperkeruh situasi dan mengganggu stabilitas ekonomi makro yang dapat berdampak pada sektor riil. Bank Indonesia tentu saja telah mengambil peran turut menjaga stabilitas moneter dengan mencoba masuk pasar uang mengintervensi perdagangan valas, menjaga stabilitas perbankan dengan memperlonggar peraturan, dan memformulasikan alternatif transaksi perdagangan antar negara dengan menghindari penggunaan dollar.
Langkah cepat pemerintah di sektor fiskal harus dilakukan dengan mempercepat serapan anggaran untuk meningkatkan kontribusi belanja pemerintah dalam menggerakkan sektor riil, yang dapat dilakukan dengan mempercepat belanja infrastruktur. Sehingga bisa cukup banyak menyerap tenaga kerja, dan mengoptimalkan produktivitas masyarakat dalam memanfaatkan belanja pemerintah. Hal ini akan dapat meningkatkan perputaran uang yang lebih tinggi dan pada akhirnya mampu melecut pertumbuhan ekonomi.
Peran pemerintah untuk segera mengatasi dan mengantisipasi kekeringan dan dampak kekeringan diharapkan mampu meningkatkan ketersediaan bahan kebutuhan pokok yang secara tradisional mengambil peran meredam inflasi sehingga koreksi terhadap rupiah lebih dapat ditekan, meski ancaman pelemahan rupiah disebabkan banyak faktor.
Masyarakat, termasuk nasabah bank diharapkan rasional menghadapi situasi pelemahan rupiah, tidak berlebihan melakukan hedging (lindung nilai) dengan beralih memegang dolar secara berlebihan. Fundamental ekonomi Indonesia masih bagus, pertumbuhan ekonomi positif dan diproyeksikan BI selama 2015 mengalami pertumbuhan antara 4,7-5,1 persen, pelemahan rupiah termasuk yang paling rendah dibanding negara lain dimana kurs rupiah terdepresiasi 12,6% sampai 21 Agustus, Turki 25%, Brasil 31%. Sedangkan rasio perbankan masih dalam kategori sehat dimana CAR di atas 20% dan NPL masih di bawah 3%, dan inflasi yang masih bertengger di atas 7% yoy masih terkendali meski belum dapat ditekan rendah, sementara cadangan devisi masih di atas US$ 100 Milyar cukup untuk mencover sekitar 6 bulan kebutuhan dollar untuk ekspor.
Media seharusnya juga mengambil peran menjaga stabilitas ekonomi dengan lebih berhati-hati memilih redaksi pemberitaan yang menenangkan pasar, bukan malah memprovokasi pasar.
*Penulis adalah Analis Kebijakan Utama Lemdikpol
TRIBRATA NEWS – Wakapolresta Pekanbaru AKBP Sugeng Putut Wicaksono SIK menjadi salah satu n